Sabtu, 30 Agustus 2014

konflik komunal diperbatasan Indonesia - Timor leste dan upaya penhyelesaiannya


          Pada pertengahan oktober 2013 , konflik antar warga di perbatasanIndonesia-Timor Leste kembali pecah. Warga kedua Negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste) . konflik ini menimbulkan ketegangan hubungan antarwargahingga berhari-hari berikutnya (tempo, 15 oktober 2013). Konflik tersebutbukan pertama kali terjadi , karena pada akhir juli 2012 konflik serupa juga erjadi di kabupaten yang sama, tetapi melibatkan warga dari desa yang berbeda.
            Kasus konflik komunal di perbatasan Indonesia-Timor Leste menarik, karena jenis konflik tersebut hamper tidak terjadi di wilayah perbatasan darat Indonesia lainnya, baik di Kalimantan maupun di Papua. Biasanya masalah yang muncul berupa belum di sepakatinya delimitasi dan demarkasi batas serta maraknya aktivitas lintas batas illegal. Bisa dikatakan jarang sekali terjadi kekerasan antarwarga. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik komunal diperbatasan Indonesia – Timor Leste tersebut penting untuk dilakukan ,agar Indonesia dapat membuat langkah antisipasi sehingga kejadian serupa tidak terjadi di masa depan.
v Kronologi konflik
Pada oktober 2013 , pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Timor Leste , dimana menurut Wrga timor tengah utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua Negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun timor leste . selain itu , pembangunanjalan oleh timur leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasa , merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia , serta merusak Sembilan kuburan orang tua warga nelu , kec.Naibenu , Kab. Timor Tengah Utara.
Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memacu terjadinya konflik antara warga Nelu , Indonesia dengan warga Leolbatan , Timor Leste  pada senin ,14 oktober 2013. Mereka saling lempar batu dan kayu. Aksi ini semakin besar karena melibatkan anggota polisi perbatasan timor leste (cipol) yang turut serta dalam aksi yang saling lempar tersebut. Dari aksi tersebut , enam warga leolbatan dan satu anggota cipol menderita luka parah , sementara dari sisi Indonesia hanya ada satu warga Nelu yang menderita luka ringan.
Setelah jatuhnya korban dari kedua belah pihak, aksi saling serang kemudian dihentikan . namun demikian, warga masih berjaga-jaga di perbatasan masing-masing . eskalasi konflik semakin ,meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka .selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI  satgas-pamtas masuk ke wilayah timor leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya dari empatdesa di kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga leolbatan., desa kosta,kecamatan kota, distrik oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang terkumpul dari media masa , warga masih berjaga-jaga diperbatasan  (tempo, 18 oktober 2013)
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia- timor leste . satu tahun sebelumnya , konflik juga terjadi di perbatasan timur tengah utara –oecussi. Pada 31 juli 2012  , warga desa haumeni ana, kec bikomi utara bentrok dengan warga passabe, distrik oecussi, timor leste.bentrokan inin dipicu oleh pembangunan kantor pelayanan bea cukai, imigrasi, dan karantina  (CIQ) Timor leste di zona netral yang masih disengketakan , bahkan di tuduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah Indonesia sejauh 20 m. tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh pihak timor lestesetelah terlibat aksi saling ejek, wargadari keduanegara kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara timor leste.
v Faktor penyebab konflik
Terdapat beberapa factor yang menjadi penyebab terjadinya konflik komunal tersebut. Pertama, masih belum tuntasnya delimitasi perbatasan antara kedua Negara. Berdasarkan nota kesepahaman antara kedua Negara pada 2005, masih terdapat 4% perbatasan darat yang masih belum disepakati. Menurut badan nasional pengelola perbatasan (BNPP) kedua Negara  masih mempersengketakan tiga segmen yaitu (a) diNeolbesi citrana, desa Netemnanu utara, Amfoang timur, kab.Kupang ,dengan distrik oecussi , timor leste, menyangkut areal persawahan sepanjang sungai noelbesi , yang status tanahnya masih sebagai zona netral. (b) segmen di bijaelsunan , oben, di kab.timor tengah utara dengan distrik oecussi , yaitu pada areal seluas 489 bidang tanah sepanjang 2,6 km atau 142,7 ha. Tanah tersebut merupakan tanah yang di sterilkan agar tidak menimbulkan masalah karena Indonesia- timor leste mengklaim sebagai miliknya. (c) segmen di dolemil memo, kabupaten belu yang berbatasan dengan distrik bobonaro, yaitu perbedaan identifikasi terhadap median mota malibaca pada aliran sungai sepanjang 2,2km atau pada areal seluas 41,9 ha.
Kedua, terjadi perbedaan interpretasi mengenai nantayang apatdperbaasan kedua Negara dari sudut pandang Indonesia pemerintah dan warganya menganggap bahwa zona netral adalah zona yang masih belum ditetapkan statusnya sebagai milik Negara Indonesia atau timor leste ,sehingga harus dikosongkan dari segala aktivitas warga . sementara dari sudut pandang timor leste, zona itu sebenarnya adalah wilayah timor leste yang digunakan oleh PBB sebagai kawasan koordinasi keamanan antara TNI dan PBB , sebagai tempat fasilitasi pembangunan pasar bagi warga di perbatasan, dan sebagai tempat rekonsiliasi antara masyarakat eks timtim dengan masyarakat pasabe, distrik oecussi . dengan demikian , setelah PBB meninggalkan timor leste seharusnya zona netral tersebut tetap menjadi bagian wilayah kedaulatan timor leste.
Ketiga, terkait dengan aspek social budaya , yaitu masih terdapat sentiment negative antarwarga Indonesia dengan warga timor leste . sebenarnay warga timor tengah utara dan oecussi di perbatasan berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu sama-sama orang timor, baik itu suku tetun ,marae (Bunak), Kemak dan Dawan. Hubungan kekerabatan pun sudah lama terjalin , apalagi timor leste pernah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun 1975 hingga 1999n. namun , pascapemisahan timor timur sebagai hasil referendum, sentiment negative tersebut menguat.  Di satu sisi warga timor leste , terutama yang pada referendum menjadi bagian kelompok prokemerdekaan , melihat Indonesia sebagai Negara yang telah menjajah mereka selam hamper 25 tahun. Di sisi lain , warga Indonesia melihat warga timor leste sebagai orang-orang yang tidak berterima kasih , apalagi banyak anggota kelompok prointegrasi yang memilih mengungsi ke wlayah Indonesia pascareferendum. Sentiment negative ini semakin menguat ketika masyarakat kedua Negara sama-sama dalam kondisi miskin dan mereka terlibat perebutan sumber daya seperti lahan kebun dan sapi.
v Upaya penyelesaian
Indonesia sudah melakukan berbagaitindakan untuk menyelesaikan masalah ini, baik tindakan yang bersifat jangka pendek (penyelesaian konflik yang terjadi ) maupun tidakan yang bersifat jangka panjang (penyelesaian sumber konflik)m .pada penyelesaian yang bersifat jangks pendek, untuk konflik yang terjadi tahun 2012, aparat TNI dari korem 161 wirasakti kupang berhasil menghentikan pembangunan kantor QIC yang dilakukan oleh pihak timor leste. Menurut komandan korem, pembangunan tersebut sudah melewati tapal batas Indonesia sejauh 20 m sehingga TNI meminta timor leste agar segera menghentikan pembangunan tersebut. Sambil menunggu penyelesaian lebih lanjut, TNI bersama tentara tior leste berhasil menghentikan konflik antarwarga perbatasan kedua Negara dan menciptakan kondisi yang kondusif kembali. Dari kasustersebut , Indonesia mendapat pembelajaran bahwa kekuatan TNI yang ditempatkan di titik –titik perbatasan ternyata masi kurang dalam menghentikan konflik antarwarga perbatasan , sehingga komandan korem di kupang perlu dating sendiri ke lokasi konflik. Oleh karena itu dalam jangka panjang , kekuatan TNI di titik perbatasan perlu di tambah agar di masa yang akan dating konflik-konflik tersebut bisa diantisipasi.
Namun , dalam kasus 2013 keterlibatan anggota keamanana dari kedua Negara baik cipol-nya timor leste maupun TNI-nya Indonesia, justru membuat konflik ini semakin besar. Dengan kekuatan senjata api yang mereka pegang, keterlibatan aparat keamanan justru semakin meningkatkan eskalasi konflik dan menimbulkan korban yang lebih besar . padahal aparat keamanan ini seharusnya bisa menjadi functional actor  yang bisa menenangkan warga dari Negara masing-masing untuk tidak melakukan aksi kekerasan , seperti yang terjadi pada kasus tahun 2012.
Dalam usaha penyelesaian yang bersifat jangka panjang, Indonesia melakukan diploma dalam rangka menyelesaikan delimitasi terhadap segmen-segmen yang masih belum disepakati . berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012 , kedua Negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut ada di sector timur  (kab.Belu) yang berbatasan langsung dengan distrik covalima da distrik      bobonaro sepanjang 149.1 km dan di sector barat  (Kab.Kupang dan Kab timor tengah utara ) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave oecussi sepanjang 119.7 km. upaya diplomasi ini tidak hanya befokus pada penyelesaian garis demarkasi terhadap tiga segmen batas yang belum di sepakati , tetapi juga pengenalan pengaturan di kawasan perbatasan yang memungkinkan warga timlor leste dan warga Indonesia yang berada di sisis perbatasan masing-masing untuk bisa melanjutkan hubungan social dan kekeluargaannya yan selama ini telah terjalin diantara mereka.
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum di sepakati, hambayan yang perlu diantisifasi   adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang di gunakan oleh masing-masing pihak. Pihak timor leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan dari united nations temporary executive administration (UNTEAD) Menekankann bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kpa traktat antara Belanda-portugis tahun 1904 dan sama sekali tidak memperhtungkan dinamika adat ikut dipertimbangkan . perbedaan pola pendekatan ini perlu disamakan terlebih dahulu sebelum pembahasan tentang tiga segmen batas dilanjutkan.
v Langkah kedepan
Kasus penyelesaian antara Indonesia dengan timor leste diatas menggambarkan bahwa langkah jangka pendek dan jangka panjang telah dilakukan , baik melalui penempatan kekuatan TNI maupun melalui negosiasi bilateral yang dikawal oleh kementrian luar negeri kedua Negara. Namun demikian hal yang perlu dilakukan adalah pelibatan unsure masyarakatb dalam upaya penyelesaian tersebut. Unsure masyarakat disini penting karena penguasaan tanah di perbatasan terkait dengan adatb istiadat yang berlaku disana . pada satu sisi, pemerintah melakukan perundingan di tingkat pemerintah, namun pada sisilain masyarakat adat membuat kesepakatan –kesepakatan terkait batas lahan dan aturan pengelolaan kebun di wilayah mereka, yang sangat mungkin hasilnya bertentangan dengan hasil yang disepakati.
Namun demikian sebelum pelibatan unsure masyarakat tersebut dilakukan, pemerintah Indonesia pelu membekali warganya dengan pendidikan guna nmeningkatkan pengetahuan tentang perbatasan dan menguatkan jiwa nasionalisme, sehingga keterlibatan masyarakat akan memberikan dampak positif bagin posisi Indonesia dalam perundingan. Gabungan kekuatan militer diplomasi dan unsure masyarakat ini dapat menjadi senjata ampuh dalam mempertahankan edaulatan Negara, keutuhan wilayah NKRI ,dan keselamatan segenap bangsa di wilayah –wilayah perbatasan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar